Makalah Tentang Hadist


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


makkah
Seluruh umat islam telah menerima paham, bahwa hadist Rasulullah saw adalah seorang pedoman hidup yang utama, setelah Al-Qur’an. Sehingga tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperinci menurut dalil yang masih utuh, ini hendaknya dicarikan penyelesaian ketentuan hukumnya dalam al-Hadist. Namun, andai kata tingkah laku tersebut belum pernah dilakukan oleh dimasa Rasulullah saw. Hingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kevakuman/ ketiadaan hukum, baru kita alihkan untuk mencari pedoman yang lain yang dibenarkan oleh syari’at.

Dengan demikian Rasulullah saw merupakan sebuah sarana/ media yang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur’an, baik itu dengan sabdanya, tindakannya, akhlaqnya, dan bahkan segala gerak-gerik beliau, beliau tidak pernah bertindak, bertutur bersikap tanpa adanya dasar wahyu dari Allah, yang difirmankan dalam an-Najm 3:4:

“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Adapun jika ada hadist yang bersifat dla’if, bukanlah kelemahan terletak pada Rasulullah, para muhadditsin berpendapat bahwa kelemahan ini kemungkinan terletak pada pewarta (rawi)-nya salah terima, bahkan mungkin juga salah pengakuan. Jadi, ia menyaksikan sendiri apa yang diwedarkannya, padahal tidak. Untuk masalah lebih lanjut akan kita bahas di pembahasan makalah ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH
  1. Apa itu Hadits?
  2. Bagaimana perkembangan hadits?
  3. Apa saja komponen hadits?
  4. Apa saja cabang-cabang ilmu yang berhubungan dengan hadits?

1.3 TUJUAN
  1. Memahami pengertian dari Hadits.
  2. Mengerti perkembangan Hadits dari masa ke masa.
  3. Mampu mengetahui komponen pembentuk hadits.
  4. Mampu mengidentifikasi cabang-cabang ilmu hadits


BAB II

PENGERTIAN HADIST

A. PENGERTIAN HADIST
  1. Pengertian Etimologis (Asal usul kata)
  2. Menurut Ibn Manzhur, kata “hadist” berasal dari bahsa Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudstan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya, al-jadid (yang baru), al-khabar (kabar/ berita), al-qadim (yang lama).
    Menurut M.M Azami, mendefinisikan bahwa kata hadits (Arab: al-hadits), secara etimologi (lughmiwiyah), yang berarti komunikasi, kisah, percakapan.

  3. Pengertian Secara Terminologis
  4. Secara terminologis, para ulama’, baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan pengertian hadits yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan ilmu yang ada didalamnya.
    Ulama’ hadist sendiri mendefinisikan hadits sebagai berikut, “Segala sesuatu yang diberitakan dari nabi Muhammad SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal”
    Menurut ahli ushul fiqh, “Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW, selain al-qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.”
    Menurut para fuqaha, “Segala sesuatu yang ditetapkan nabi Muhammad Saw, yang tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.”
    Hal ini jelas bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan hadits mereka berbeda dalam meninjau objek hadits itu sendiri.

B. BENTUK-BENTUK HADITS
Berdasarkan pengertian diatas, kita bisa melihat berbagai bentuk hadits, diantaranya: qauli (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ahwali (hal ihwal) dan lainnya.
  1. Hadits qauli
  2. Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa hadits berupa perkataan Nabi SAW. Yang berisi tentang berbagai tuntutann dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik berkaitan dengan aspek akidah, syariat, maupun akhlak.
    Contohnya adalah hadits tentang kecaman rasulullah SAW kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadits-hadits berasal dari Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya dineraka.” (Hr. Muslim).

  3. Hadis Fi’li
  4. Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Rasulullah SAW yang menjadi anutan perilaku sahabat pada saat itu, dan menjadi suatu keharusan bagi umat islam untuk mengikutinya. Contohnya adalah hadits tentang saat rasulullah shalat saat perjalanan diatas kendaraan:

    عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا اَرَادَ اْلفَرِيْضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ اْلفِبْلَةَ
    "Dari Jabir berkata, bahwasanya Rasulullah pernah shalat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya itu menghadap. Apabila beliau hendak (melaksanakan shalat) fardhu, ia turun dan menghadap ke kiblat" (HR. Bukhari-Muslim).

  5. Hadits taqriri
  6. Hadits taqriri adalah suatu hadits berupa ketetapan Rasulullah saw. Terhadap apa yang dating atau dilakukan para sahabat. Membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Rasul saw yang demikian itulah yang dijadikan dasar para sahabat sebagai dalil taqrir. Contohnya adalah saat Rasulullah ditanyai sahabat tentang apakah daging biawak haram / tidak:

    ‏أَحَرَامٌ الضَبُّ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ ‏ ‏لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ كُلُوْا فَإِنَّهُ حَلَالٌ قَالَ ‏ ‏خَالِدٌ ‏ ‏فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُوْلُ اللهِ ‏ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَنْظُرُ إِلَيَّ
    "Apakah biawak ini haram? Nabi menjawab: "tidak, hanya saja (binatang ini) tidak ada di daerah kaumku. Makanlah, karena itu halal". Khalid berkata: "Segera aku memotongnya dan memakannya, sedangkan Rasulullah menyaksikanku". (HR. Bukhari-Muslim)

  7. Hadits Hammi
  8. Hadits hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi saw, yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura Ibn Abbas :
    Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”

  9. Hadits Ahwali
  10. Hadits yang berupa hal ikhwal tentang Rasulullah saw, yang tidak termasuk kedalam kategori kedalam kategori keempat bentuk hadits yang telah disebutkan tadi. Hadits yang termasuk kategori ini adalah hadits yang menyangkut sifat-sifat, kepribadian rasulullah saw, serta fisik nabi saw. Contohnya sepertinya hadits yang diriwayatkan oleh al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:

    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ
    Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.

    BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

    A. Sejarah Perkembangan Hadits
    Sejarah perkembangan hadits merupakan suatu masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits mulai dari masa lahir, tumbuh dalam pengenalan, penghayatan maupun pengamalan bagi umat setelahnya. Sehingga dengan memahami beberapa aspek-aspek tersebut para ulama’ muhaditsin membagi sejarah perkembangan hadits ada yang menjadi 3 (empat) periode, 5 (empat) periode, 7 (tujuh) periode. Namun yang paling popular dikalangan para ulama muhaditsin periodisasi dari sejarah perkembangan hadits dibagi menjadi 7 (tujuh) periode, diantaran:

    1.1 Periode Pertama: Perkembangan Pada Masa Rasulullah saw
    Periode ini biasa disebut dengan “Ashr Al-Wahyu wa At-Taqwin” atau turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam. Pada periode ini hadits berupa sabda langsung dari rasulullah saw yang berfungsi untuk menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syari’at Islam dan membentuk masyarakat Islam.
    Dimasa ini para sahabat menerima hadits secara langsung ada pula yang tidak secara langsung, penerimaan secara langsung seperti saat rasulullah saw sedang ceramah, pengajian, khutbah, dll. Sedang jika tidak secara langsung dengan cara mendengar dari para sahabat ataupun dari utusan nabi saw yang mengemban amanah ke daerah, ataupun sebaliknya.
    Sayangnya dimasa nabi saw hadits belum dituliskan secara resmi oleh para sahabat, namun itu semua bukan berarti tidak ada sahabat yang tidak menulis hadits, dalam perkembangannya terdapat beberapa nama penulis hadits dimasa ini, diantaranya:
  • ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, Shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
  • Ali Ibn Abi Tholib, penulis hadits tentang diyat, hukum kekeluargaan, dll
  • Anas Ibn Malik
    Namun dari semua itu bukti yang paling otentik adalah ketika nabi saw menyelenggarakan dakwa dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada pejabat didaerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah yang ada dimanapun, surat-surat tersebutlah yang membuktikan bahwa diperioode rasulullah saw telah dilakukan penulisan hadits dikalangan sahabat.

    1.2 Periode Kedua: Perkembangan Hadits Pada Masa Khulafa’ Ar-Rosyidin (11 H- 40H)
    Periode ini disebut dengan “Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah” atau masa membatasi dan menyedikitkan riwayat. Setelah nabi Muhammad saw wafat pada tahun 11 H. beliau meninggalkan dua dasar pedoman hidup, yaitu al-qur’an dan al-hadits yang harus menjadi pegangan dalam seluruh aspek kehidupan umat.
    Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayat hadits tersebar hanya terbatas, dikarenakan penulisan hadits yang belum diperkenankan secara resmi, dan ditambah lagi dimasa kholifah umar, beliau lebih cenderung menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan al-qur’an.
    Namun di masa kholifah umar sebenarnya beliau juga mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun menurut cerita niat tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.

    1.3 Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
    Periode ini disebut “Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar” atau masa berkembang dan meluaskan periwayatan hadits. Dimasa ini perkembang Islam mulai meluas ke negeri Syam, Irak, Mesir, Sampai ke Spanyol. Sehingga para sahabat kecil maupun tabiin ini lebih giat lagi mencari hadits ke sahabat-sahabat besar.
    Dimasa ini periwayatan hadits meningkat sangat besar, sehingga muncullah bendahara dan lembaga hadits diberbagai daerah diseluruh negeri. Diantara bendaharawan hadits yang menerima, menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadits diantaranya:
    1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
    2. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits.
    3. ‘Aisyah, istri Rasulullah saw, meriwayatkan 2.276 hadits.
    4. ‘Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadits.
    5. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
    6. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.179 hadits.
    Dimasa ini pula mulai muncul usaha untuk pemalsuan hadits oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali R.A. karena dimasa itu Islam mulai terpecah mejadi 3 golongan, yaitu: Syi’ah (Ali Ibn Abi Tholib), Mu’awiyah (golongan oposisi Ali Ibn Abi Tholib), dan Jumhur (pemerintah). Hal iniliah yang memacu orang-orang tak bertanggung jawab memalsukan hadits demi keuntungan golongan mereka masing-masing.

    1.4 Periode Keempat: Perkembangan Hadits abad ke-II dan III Hijriyah
    Periode ini disebut “Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin” atau masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya disini adalah masa dimana pemerintah dengan secara resmi menyelenggarakan penulisan pembukuan hadits. Kitab-kitab yang dibukukan dimasa ini sudah cukup banyak, sehingga sebagian ulama yang mempelajari keadaan rawi-rawi hadits menganggap banyak rawi-rawi yang masih lemah.

    1.5 Periode Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah- Kaidahnya
    Dimasa ini merupakan puncak dari usaha pembukuan hadits, kitab-kitab hadits mulai tersebar kedalam masyarakat dan disambut dengan antusias oleh masyarakat, kemauan menghafal, membukukan hadits semakin meningkat, tokoh central dalam perkembangan hadits dimasa ini adalah al-Bukhori karena beliaulah yang sangat gencar meluaskan daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits.
    Dimasa ini pula sudah dilakukan penyaringan hadits sahih oleh para ulama’, dan pekerjaan yang mulia ini kemudian diselelnggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhori dengan menyusun kitab Al-Famius Shahih.

    1.6 Periode Keenam: Abad IV hingga tahun 656 H.
    Dalam periode ini ada beberapa usaha penting yang dilakukan para ulama’. Diantaranya: Mengumpulkan hadits al-Bukhori dalam sebuah kitab, Mengumpulkan hadits dalam kitab enam, Mengumpulkan hadits dalam berbagai kitab, Mengumpulkan hadits hukum. Di periode ini juga muncul usaha istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-Bukhori, lalu meriwayatkan sanad sendiri yang lain dari sanad al-bukhori, misal: “Mustakhraj Shahih Al-Bukhori oleh Hafidh Al-Jurjany”.

    1.7 Periode Ketujuh (656-sekarang)
    Periode ini disebut “Ahdu A-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij” atau masa pensyarahan (Penceramahan), penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan. Usaha ulama’ sekarang adalah menerbitkan kitab hadits, menyaringnya mana yang shahih, mana yang dlaif, menyusun enam kitab tahrij, serta membuat kitab jami’ yang umum. selain itu para ulama hadits di periode ini juga mengumpulkan beberapa hadits kedalam kitab tertentu seperti kitab Jami’ Al-Masnaid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Katsir.

    BAB IV STRUKTUR HADITS

    A. Komponen Hadits
    Secara struktur hadits terdiri dari tiga komponen, diantaranya : sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadits/ isi hadits), mukharij (rawi/ periwayat) berikut hadits yang memuat tiga komponen tersebut. Contoh:

    hadits

    Hadits tersebut sudah memiliki 3 komponen dalam pembentukan suatu hadits, yaitu sanad yang ada pada lafal:

    sanad

    Matan yang ada pada lafal:
    matan

    Rawi yang ada pada lafal:
    rawi

    1. Sanad
    2. Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran, dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya ialah:

      As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:

        الاِخْبَارُ عَنْ طَرِيْقِ الْمَتَنِ
        “Berita tentang jalan matan”

        Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :
      سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
      “Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”

      Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih. Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

    3. Matan
    4. Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras, namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:

      Menurut Muhammad At Tahhan ما ينتهى اليه السند من الكلام
      “suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”

      Menurut Ath Thibbi الفاظالحديثالتىتتقومبهامعاني
      “lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”

      Jadi pada dasarnya matan itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,

    5. Mukharrij (rawi)
    6. Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
      Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
      Seperti pada contoh hadis diatas, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari رواه البخاري yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari.

    BAB V CABANG-CABANG ILMU HADITS

    A. Cabang-cabang Ilmu Hadits
    1. Ilmu Rijalil Haidts
    2. “Ilmu yang membahas para rawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun generasi-generasi sesudahnya”. Ilmu ini mempunyai kedudukan sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadits karena kajian ilmu hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu ini mengambil dua tempat yang khusus mempelajari persoalan-persoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
      Bagian dari ilmu rijalil hadits ini adalah ilmu tarikh rijal al-hadits. Ilmu ini secara khusus membahas perihal aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan, dan murid muridnya. Contoh kitab hasil karya para muhaditsin adalah: Al-Isti’ab fi Ma’rifah Al-Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz As-Sahabah, Tahzib At-Tahzibkarya Ibnu Hajar Al-Asqalani dll.

    3. Ilmu Gharib Al-Hadits
    4. “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar untuk diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum”. Jadi ilmu ini membahas lafadz musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadits.
      Pada masa sesudah sahabat, yaitu pada abad pertama dan masa masa tabiin sekitar 150 H, bahasa Arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umu, dan hanya kalangan terbatas yang memahaminya. Untuk itu, para ahli hadits mengumpulkan kata-kata yang jarang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
      Menurut sejarah, orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadz yang gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna, yang kemudian dikembangkan oleh Abdul Hasan Al-Mazini. Contoh kitabnya seperti: Gharib Al-Qur’an dan Al-Hadits susunan Al-Harawi, Al-Faiq susunan Al-Zamaksyari. Kitab terbesarnya adalah An-Nihayah susunan Ibn Atsir.

    5. Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh
    6. “Ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling bertentangan yang tidak mungkin bias dikompromikan, dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan terbukti datang kemudian sebagai nasikh”
      Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’, hadits maqbul yang tanakud tersebut ditarjih atau di-nasakh.
      Perintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’I dilanjutkan oleh Ahmad Ibn Ishaq Ad-Dinari, Muhammad Ibn Bahar Al-Ashbahani, Ahmad ibn Muhammad An-Nahhas dll. Contoh kitabnya seperti: An-Nasikh wa Al-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, Nasikh Al-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram.

    7. Ilmu Jarh wa At-Ta’dil
    8. “Ilmu yang membahas hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan mereka, dengan lafadz tertentu”. Sama halnya seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu ini sangat penting dalam hadits karena ilmu ini berguna untuk menetapkan adil atau tidaknya, diterima atau tidaknya seorang rawi dalam meriwayatkan sebuah hadits.
      Kitab-kitab yang terkenal berkenanan Ilmu Jarh wa At-Ta’dil adalah: Thabaqat Ibn Sa’ad dan At-Takmil fi Ma’rifat Ats-Tsiqat wa Adh-Dhu’afa wa Al-Majahilo.

    KESIMPULAN
    Dari apa yang telah kita bahas diatas, meskipun itu bersifat umum, secara garis besar kita bisa menyimpulkan bahwasannya hadits itu berpedoman pada rasul SAW, yang mana beliau sendiri dalam menjalankan apapun itu berdasarkan akan wahyu yang diturunkan kepadanya, bukan dari kehendak beliau sendiri.
    Sehingga mempelajari hadits dapat meningkatkan pengetahuan kita akan apa saja yang dilakukan oleh rasul, untuk kita gunakan pedoman sebagai penuntun menuju kejalan yang lurus dan diridlai-Nya
    Dalam prosesnya sebuah hadits bisa dikatakan Shahih apabila memiliki komponen yang lengkap, dan banyak juga ilmu-ilmu yang saling berhubungan untuk memperkuat ke-shahih-an sebuah hadits.

    DAFTAR PUSTAKA
  • Buku Ulumul Hadits karya, Pengarang : Drs.M. Agus S. M.AG
  • Buku Ulumul Hadits karya, Pengarang : Drs. H. Muhammad Ahmad - Drs.M. Mudzakir
  • http://www.fimadani.com/definisi-ulumul-hadits/ (diakses 20 Desember 2013)
  • http://ebookbrowsee.net/ul/ulumul-hadits-pdf (diakses 20 Desember 2013)
Baca Juga selengkapnya tentang Ayat Muhkam dan Mutasyabihat DISINI

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

4 komentar

komentar
Anonim
12 November 2014 pukul 12.21 delete

hmmm blog juga nihh bookmark dulu ahh sewaktu2 ada tugas sekolah heheh

Reply
avatar
12 November 2014 pukul 17.32 delete

thx gan,kebetulan ada tugas agama....

Reply
avatar
12 November 2014 pukul 20.14 delete

alhamdulillah kalau bisa bermanfaat :)

Reply
avatar

1. Dilarang komentar SARA
2. Promosi boleh tapi dengan syarat (no sex, judi dan hal yang terlarang lainnya)
3. Cukup perhatikan nomor 1 dan 2 saja
4. Thank you for visiting