A. Pengertian Demokrasi
B. Demokrasi Sebagai Pandangan Hidup
C. Unsur-unsur Penegak Demokrasi
E. Indikator Demokrasi
F. Sejarah Demokrasi di Indonesia
G. Pemilu dan Politik Dalam Sistem Demokrasi
Kata demokrasi berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu demos dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti kekuasaan atau pemerintahan. Jadi, secara bahasa demos-cratein adalah keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut :
- Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memeperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompeetitif atas suara rakyat
- Sidney Hook, berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa
- Affan Gaffar (2000), memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudanya pada dunia politik praktis.
Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.
B. Demokrasi Sebagai Pandangan Hidup
Menurut Nurcholis Madjid pandangan hidup demokratis berdasarkan pada bahan-bahan telah berkembang, baik secara teoritis maupun pengalaman praktis di negeri-negeri yang demokrasinya cukup mapan paling tidak mencakup tujuh norma. Ketujuh norma itu sebagai berikut :
Pertama, pentingnya kesadaran akan pluralisme. Ini tidak saja sekedar pengakuan kenyataanya masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadaran akan kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang akan dapat menyesuaikan dirinya pada cara hidup demokratis jika ia mampu mendisiplinkan dirinya ke arah jenis persatuan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan perilaku kreatif dan dinamik serta memahami segi-segi positif kemajemukan masyarakat. Masyarakat yang teguh berpegang pada pandangan hidup demokratis harus dengan senidinya teguh memelihara dan melindungi lingkup keragaman yang luas. Pandangan hidup demokratis seperti ini menuntut moral pribadi yang tinggi. Kesadaran aka pluralitas sangat penting dimiliki bagi rakyat indonesi sebagai bangsa yang beragam dari sisi etni, bahasa, budaya, agama dan potensi alamnya.
Kedua, dalam peristilahan politik dikenal istilah “musyawarah” (dalam bahasa Arab, musyawaroh, dengan makna asal sekitar “saling memberi isyarat”). Internalisasi makna semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”. Semangat musyawarah menuntut agar setiap menerima kemungkinan terjadinya “partial finctioning of ideals”, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Korelasi prinsip itu ialah kesediaan untuk kemungkinan menerima bentuk-bentuk tertentu kompromi atau islah. Korelasinya yang lain ialah seberapa jauh kita bisa bersikap dewasa dalam mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik. Dalam masyarakat yang belum terlatih benar unutk berdemokkrasi, sering terjadi kejenuhan antara mengkritik yang sehat dan bertanggung jawab, dan menghina yang merusak dan tanpa tanggung jawab.
Ketiga, ungkapan “tujuan menghalalkan cara” mengisyaratkan suatu kutukan kepada orang yang berusaha meraih tujuanya dengan cara-cara yang tidak peduli kepada pertimbangan moral. Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim atas suatu tujuan yang baik harus diabsahkan oleh kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Seperti dikatakan Albert Camus, “indeed the justifies the means”. But what justifies the end ? the means!”. Maka antara keduanya tidak boleh ada pertentangan. Setiap pertentangan antara cara dan tujuan, jika telah tumbuh menggejala cukup luas, pasti akan mengundang reaksi-reaksi yang dapat menghancurkan demokrasi. Demokrasi tidak terbayang terwujud tanpa akhlak yang tinggi. Dengan demikian pertimbangan moral (kuluhuran akhlak) menjadi acuan dalam berbuat dan mencapai tujuan.
Keempat, permufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang jujur dan sehat. Suasana masyarakat demokrasi dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat itu guna mencapai permufakatan yang juga jujur dan sehat. Permufakatan yang dicapai melalui “engineering”, manipulasi atau taktik-taktik yang sesungguhnya hasil sebuah konfirasi, bukan saja merupakan permufakatan yang curang, cacat atau sakit, malah dapat disebut sebagai penghianatan pada nilai dan semangat demokrasi. Karena itu, faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua merupakan hal yang sangat pokok. Faktor ketulusan itu mengandung makna pembebasan diri dari vested interest yang sempit. Prinsip ini pun terkait dengan paham musyawarah seperti telah dikemukakan diatas. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangsung jika masing-masing pribadi atau kelompok yang bersangkutan mempunyai kesediaan psikologis unutk melihat kemungkinan orang lain benar dan diri sendiri salah, dan bahwa setiap orang pada dasarnya baik, berkencederungan baik, dan beritikad baik.
Kelima, dari sekian banyak unsur kehidupan bersama ialah terpenuhinya keperluan pokok, yaitu pangan, sandang dan papan. Ketiga hal itu menyangkut masalah pemenuhan segi-segi ekonomi (seperti masalah mengapa kita makan nasi, bersandangkan sarung, kopiah, kebaya, serta berpapankan rumah “joglo”, misalnya) yang dalam pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial-budaya. Warga masyarakat demokratis ditantang untuk mampu menganut hidup dengan pemenuhan kebutuhan secara berencana, dan harus memiliki kepastian bahwa rencana-rencana itu (dalam wujud besarnya ialah GBHN) benar-benar sejalan dengan tujuan dan praktik demokrasi. Dengan demikian rencana pemenuhan kebutuhan ekonomi harus mempertimbangkan aspek keharmonisan dan keteraturan sosial.
Keenam, kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai iktikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung-mendukung secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaab kemasyarakatan yang ada, merupakan segi penunjang efesiensi untuk demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efesiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus pada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nila-nilai asasi demokratis. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianism) dan tingkah laku penuh percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude) mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis. Pandangan kemanusiaan yang negatif dan pesimis akan dengan sendirinya sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang kemudian ujungnya ialah keengganan bekerja sama.
Ketujuh, dalam keseharian, kita bisa berbicara tentang pentingnya pendidikan demokrasi. Tapi karena pengalaman kita yang belum pernah dengan sungguh-sungguh menyasikan atau apalagi merasakan hidup berdemokrasi -ditambah lagi dengan kenyataan bahwa “demokrasi” dalam abad ini yang dimaksud adalah demokrasi moderen- maka bayangan kita tentang “pendidikan demokrasi”umumnya masih terbatas pada usaha indoktrinasi dan penyuapan konsep-konsep secara verbalistik. Terjadinya diskrepansi (jurang pemisah) antara das sein dan das sollen dalam konteks ini ialah akibat dari kuatnya budaya “menggurui” (secara feodalistik) dalam masyarakat kita, sehingga verbalisme yang dihasilkan juga menghasilkan kepuasan tersendiri dan membuat yang bersangkutan merasa telah berbuat sesuatu dalam penegakan demokrasi hanya karena telah berbicara tanpa perilaku. Pandangan hidup demokratis terlaksana dalam abad kesadaran universal sekarang ini, maka nilai-nilai dan pengeertian-pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita. Tidak dalam arti menjadikannya mautan kurikuler yang klise, tetapi diwujudkan dalam hidup nyata (lived in) dalam sistem pendidikan kita. Kita harus muali dengan sungguh-sungguh memikirkan unutk membiasakan anak didik dan masyarakat umumnya siap menghadapi perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan pimpinan atau kebijakan. Jadi pendidikan demokrasi tidak saja dalam kajian konsep verbalistik, melainkan telah membumi (menyatu) dalam interaksi dan pergaulan sosial baik dikelas maupun diluar kelas.
C. Unsur-unsur Penegak Demokrasi
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata kehidupan sosial dan sistem politik sangat bergantung kepada tegaknya unsur penopang demokrasi itu sendiri. Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain :
- Negara Hukum
- Masyarakat Madani
- Infrastuktur Politik
Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dan penjamin hak asasi manusia. Sementara itu istilah negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Penjelasan tersebut merupakan gambaran sistem pemerintahan negara indonesia.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas, bahwa negara hukum –baik arti formal yaitu penegakan hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif dalam penyelenggaraan negara, maupun negara hukum dalam arti material yaitu selain menegakkan hukum, aspek keadilan juga harus diperhatikan menjadi prasyarat terwujudnya demokrasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Masyarakat madani (Civil Society) dicirikan dengan masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpatisipasi aktif serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic gagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic gagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antar satu dengan lain yang sangat penting artinya bagi bangunan politik demokrasi (Saiful Mujani: 2001).
Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari :
- Partai Politik (political party).
Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yanng anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya.
- Kelompok Gerakan (movement group)
Kelompok gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang-orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Nahdatul Wathon, Al-Wasliyah, Al-Irsyad, Jamiatul Khair dan sebagainya.
- Kelompok Penekan atau Kelompok Kepentingan (pressure/intrest group).
Kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressure/intrest group) merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu seperti AIPI (Asosiasi Ilmuan Politik Indonesia), IKADIN, KADIN, ICMI, PGRI, LIPI, PWI dan sabagainya.
Sklar, mengajukan lima corak atau model demokrasi yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi partisipasi dan demokrasi konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi tersebut sebagai berikut :
- Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yangn bisa bertahan.
- Demokrasi terpimpin, Para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaingsebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
- Demokrasi sosial, sebuah paham politik yang sering disebut sebagai kiri atau kiri moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 berasal dari gerakan sosialisme
- Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai.
- Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
Selanjutnya pembagian demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan menurut Kencana, terdiri dari dua model yaitu demokrasi langsung (direct democrary) dan demokrasi tidak langsung (indirect democrary). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalanya pemerintahan, Sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota) dilakukan rakyat secara langsung melalui pemilu. Begitu juga pemilihan anggota perlemen atau legislatif (DPR, DPD, DPRD) dilakukan rakyat secara langsung. Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung, lembaga parlemen dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubunganya dengan pemerintah atau negara. Dengan demikian demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.
E. Indikator Demokrasi
Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu;
- Partisipasi dalam pembuatan keputusan
- Persamaan di depan hukum
- Distribusi pendapat secara adil
- Kesempatan pendidikan yang sama
- Empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat. Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu;
- Persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat
- Partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif
- Pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis,
- Kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat
- Pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
F. Sejarah Demokrasi di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan.
Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropa Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.
Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya. Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.
Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara. Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.
Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan krisis disegala aspeknya.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksanakan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.
G. Pemilu dan Politik Dalam Sistem Demokrasi
Sistem demokrasi dapat diukur antara lain dari peranan partai politik dan standar penampilan politiknya. Apa yang dimaksud dengan penampilan politik itu? Ada tiga standar penampilan yakni partisipasi warga negara dalam pemilihan, stabilitas pemerintahan dan terjaminnya tata tertib masyarakat.
- Partisipasi warga dalam pemilihan
Partisipasi warga negara dalam pemilihan kompetitif adalah sifat khusus yang membedakan politik demokratis dari politik nondemokratis. Partisipasi penuh dari warga negara bukan hanya memperkuat legitimasi sistem politik demokratis tapi juga membantu mencegah terjadinya kekerasan politik dan munyalurkannya ke dalam kompetisi regular. Beberapa faktor partisipasi pemilihan antara lain:
- Banyaknya partisipasi.
Banyaknya peserta pemilu hanya salah satu bentuk partisipasi dalam proses politik. Partisipasi dalam sistem demokratis dapat pula dilakukan dalam format lain seperti diskusi isu-isu yang sedang hangat, mobilisasi massa dalam kampanye, usaha kolektif untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, serta komunikasi dengan pejabat pemerintah. Aneka bentuk partisipasi manyebabkan jumlah partisipan dalam pemilihan bukan satu-satunya indikator tinggi-rendahnya partisipasi politik. Itulah sababnya peserta pemilu rendah di AS, Swiss, Turki dan Jamaica.
- Makna Pemilihan.
- Stabilitas dan Efektifitas Pemerintahan
- Pemeliharaan Tatanan Politik:
- Ukuran kegagalan tatanan politik.
- Keterlibatan Warga Negara
- Mobilisasi Partai
- Konstitusi Dan Penampilan Politik.
- Sistem Presidensial
- Sistem Parlementer
Pemilihan menjadi berarti jika ia mengubah pemerintahan berdasarkan ketentuan bahwa partai pemenang menggantikan partai yang dikalahkan dalam pemiliham seperti di Amerika. Namun demikian bukan berarti bahwa tidak adanya perubahan pemerintahan adalah cermin dari keadaan tidak demokratis. Bisa jadi partai tertentu seperti LDP di Jepang terus-menerus memerintah. Hal ini bisa terjadi karena kepercayaan terhadap LDP sangat tinggi, sehingga terpilihnya partai lain justru menumbuhkan keraguan di pihak massa pemilih.
Stabilitas pemerintahan parlementer diukur dari apakah ada perubahan komposisi partai politik di kabinet dan juga Perdana Menteri tidak berhenti secara paksa. Stabilitas pemerintahan presidensiil diukur dari kelangsungan presiden sekalipun kabinet mengalami perubahan. Akhir sebuah pemerintahan adalah bila terjadi pemilihan, atau masuk atau keluarnya sebuah partai dari kabinet, intervensi militer.
Efektifitas sistem parlementer lebih mudah diukur daripada sistem presidensiil. Dalam sistem parlementer, selama mayoritas parlemen tetap dikuasai kabinet maka pemerintahan tersebut stabil. Ditinjau dari ukuran ini maka AS tidak tergolong ke dalam pemerintahan yang efektif. Karena Konggres dikuasai partai lawan dalam jangka waktu lama.
Dalam rezim-rezim non demokratis sedikit sekali kesempatan untuk mengoreksi pemerintahan. Kritik dibatasi dalam bentuk petisi atau hanya boleh dilakukan oleh kalangan elit tertentu. Sementara itu konflik dan ketegangan politik cenderung ditekan semaksimal mungkin hingga mencapai titik terendah. Jika perlu digunakan kekerasan untuk melancarkan penekanan tersebut.
Dalam sistem demokrasi koreksi, konflik dan perbedaan pendapat disalurkan melalui lembaga pemilihan. Jadi melalui pemilihan koreksi terhadap pemerintah dapat dilakukan secara resmi oleh setiap warga negara dewasa.
Kegagalan tatanan politik dapat diukur antara lain dari indikator kerusuhan (riots), kematian (deaths) dan penundaaan peme-rintahan demokratis. Kerusuhan adalah sejumlah besar warga negara beraksi di luar kontrol tanpa perencanaan dan merusak barang-barang penduduk. Amerika dan India tergolong ke dalam ranking tertihggi dalam hal kerusuhan. Kematian bisa terjadi akibat dari kerusuhan atau teroris berseniata. India dan Philipina menduduki ranking teratas dalam hal kematian karena kekerasan politik.
Penundaan/penghapusan sistem demokrasi dapat terjadi karena intervensi militer atau jika kegiatan politik dilarang oleh pemerintah atau pencabutan hak-hak sipil oleh rejim berkuasa. Demokrasi berjalan dengan baik pada negara-negara yang penduduknya berukuran kecil, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi serta homogenitas etnis. Sebaliknya, negara-negara besar lebih banyak diwarnai dengan kerusuhan dan kematian akibat dari kekerasan politik. Negara dengan pertumbuhan ekonomi rendah serta miskin umumnya juga banyak terjadi kekerasan dan kematian politik, tingkat partisipasinya rendah dan pemerintahannya tidak stabil.
Wajib memilih dan jumlah pencoblos negara-negara demokrasi yang menerapkan kewajiban memilih bagi warganya disertai dengan sangsi hukuman antara lain adalah Australia, Belgia, Belanda, Venezuela dan Costa Rica. Di negara-negara ini kewajiban mencoblos mengakibatkan jumlah pencoblos jauh lebih tinggi dari negara-negara yang tidak mewajibkan warga negaranya untuk mencoblos seperti Amerika misalnya. Sebaliknya Belanda yang berusaha untuk menghapus ketentuan tersebut menderita penurunan jumlah pencoblos. Sementara Uruguay dengan mengeluarkan ketentuan wajib memilih memperoleh hasil lebih banyak pencoblos dari pada sebelumnya.
Di Eropa hubungan antara kelompok-kelompok di msyarakat dengan partai politik mempengaruhi jumlah pencoblos dalam pemilihan. Misalnya, petani lebih percaya dengan pemerintahan yang didominasi oleh partai "Rakyat". Sementara kalangan buruh lebih cenderung memilih pemerintahan dari partai "sosialis". Sebaliknya di negara-negara lain partai tergantung dari berbagai jenis dan lapisan masyarakat yang bersifat plural.
Hubungan antara konstitusi dan penampilan politik terwujud dalam bentuk-bentuk sistem pemerintahan seperti sistem prasidensial dan parlementer.
Ciri utamanya adalah presiden (top executive) dipilih untuk suatu periode tertentu dan dilakukan melalui pemilihan langsung. Bentuk pemerintahan ini mumungkinkan stabilitas eksekutif.
Jika eksekutif dipilih secara langsung maka ia memiliki basis pemilih sendiri sehingga tidak tergantung pada badan legislatif. Dengan demikian presiden tidak mudah digulingkan oleh parlemen yang mungkin saja menguasai mayoritas parlemen. Namun demikian pemisahan secara tegas kekuasaan presiden (eksekutif) dengan kekuasaan legisistif sering menghalangi pelaksanaan program pemerintah. Khususnya jika parlemen tidak setuju dengan program pemerintah. Jika parlemen dikuasai oleh oposisi maka besar kemungkinan pemerintah akan menjadi pamerintah minoritas. Situasi dimana partai menguasai hak eksekutif maupun legislatif juga mungkin terjadi. Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa eksekutif sangat dominan, dominasi eksekutif bukan tanpa bahaya. Karena eksekutif dominan jika terancam kelangsungan pemerintahannya dapat mengubah sistem demokrasi munjadi non demokrasi seperti di Philipina.
Sistem Parlementer cenderung lebih stabil dan efektif karena partai yang berkuasa di cabang eksekutif dapat mengendalikan pemerintah serta kebijaksanaan Kabinet misalnya dapat menggunakan kekuasaan pemerintah untuk memperkuat, posisi partai yang berkuasa.
1. Dilarang komentar SARA
2. Promosi boleh tapi dengan syarat (no sex, judi dan hal yang terlarang lainnya)
3. Cukup perhatikan nomor 1 dan 2 saja
4. Thank you for visiting